A. Tujuan
Bank Indonesia
Berbeda dengan
Undang‐undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral
yang tidak merumuskan secara tegas mengenai tujuan Bank Indonesia, dalam UU‐BI secara tegas dinyatakan dalam Pasal 7
bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
yang merupakan single objective Bank Indonesia. Kestabilan nilai rupiah yang
dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin
dari perkembangan laju inflasi serta kestabilan terhadap mata uang negara lain
yang tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara
lain.
Perumusan tujuan
Bank Indonesia dalam bentuk single objective ini dimaksudkan untuk memperjelas
sasaran yang akan dicapai dan batasan tanggung jawab yang harus dipikul oleh
Bank Indonesia. Hal ini berbeda dengan tujuan Bank Indonesia dalam Undang‐undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral yang dirumuskan secara umum yaitu “meningkatkan taraf hidup rakyat”.
Ketidaktegasan perumusan tersebut menimbulkan implikasi antara lain peran Bank
Indonesia sebagai otoritas tidak jelas dan tidak terfokus bahkan timbul
conflicting karena antara tugas menjaga kestabilan nilai rupiah dengan tugas
mendorong pertumbuhan seringkali tidak dapat berjalan seiring. Disamping itu,
ketidakjelasan tujuan juga menjadikan tanggung jawab terhadap kebijakan yang
diambil tidak jelas.
B. Tugas
Bank Indonesia
Dalam rangka mencapai tujuan untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia didukung oleh
tiga pilar yang merupakan 3 (tiga) bidang utama tugas Bank Indonesia yaitu :
‐ menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter,
‐ mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran,
‐ serta mengatur dan mengawasi bank.
Agar tujuan mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah tersebut dapat dicapai secara efektif dan efisien, maka
ketiga tugas tersebut harus diintegrasikan.
1.
Tugas Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan
Moneter
Untuk mencapai tujuan Bank Indonesia
dalam menjaga kestabilan nilai rupiah, Pasal 10 UU‐BI menegaskan bahwa Bank Indonesia
memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran
moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi serta melakukan pengendalian
moneter melalui berbagai cara antara lain :
·
operasi
pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;
·
penetapan
tingkat diskonto;
·
penetapan
cadangan wajib minimum;
·
pengaturan
kredit atau pembiayaan.
Cara-cara pengendalian moneter tersebut
dapat dilaksanakan juga berdasarkan prinsip syariah. Sasaran laju inflasi
ditetapkan oleh Bank Indonesia atas dasar tahun kalender dengan memperhatikan perkembangan
dan prospek ekonomi makro. Penetapan sasaran laju inflasi tersebut terutama
dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan harga yang secara langsung
dipengaruhi oleh kebijakan moneter. Sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia tersebut dapat berbeda dengan asumsi laju inflasi yang dibuat
oleh Pemerintah dalam rangka penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
yang didasarkan pada tahun fiskal.
2.
Peran Bank Indonesia sebagai Lender of
the Last Resort
Sebagai upaya untuk meningkatkan
efektivitas pengendalian moneter, Bank Indonesia juga mempunyai fungsi lender
of the last resort, (Pasal 11) yang memungkinkan Bank Indonesia membantu
kesulitan pendanaan jangka pendek yang dihadapi bank. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia
hanya membantu untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek karena adanya
mismatch yang disebabkan oleh resiko kredit atau resiko pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, resiko manajemen, atau resiko pasar. Untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kredit atau pembiayaan dimaksud, yang pada gilirannya akan dapat
mengganggu efektifitas pengendalian moneter, maka pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibatasi selama‐lamanya 90 hari. Disamping itu, kredit
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tersebut harus dijamin dengan surat
berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Yang dimaksud dengan
agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan meliputi surat berharga
dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang
mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang
kompeten dan sewaktu‐waktu dengan mudah dicairkan. Apabila
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tersebut tidak dapat
dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya berhak mencairkan agunan
yang dikuasainya.
3.
Kebijakan Nilai Tukar
Pasal 12 UU-BI menetapkan bahwa Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan nilai tukar yang
ditetapkan. Penetapan nilai tukar dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk
Keputusan Presiden berdasarkan usul Bank Indonesia. Kewenangan Bank Indonesia
dalam melaksanakan kebijakan nilai tukar ini antara lain dapat berupa :
·
dalam
sistem nilai tukar tetap berupa devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang
asing;
·
dalam
sistem nilai tukar mengambang berupa intervensi pasar;
·
dalam
nilai tukar mengambang terkendali berupa penetapan nilai tukar harian serta
lebar pita intervensi.
4.
Kewenangan dalam Mengelola Cadangan
Devisa
Dalam Pasal 13 UU‐BI dirumuskan bahwa Bank Indonesia
mengelola cadangan devisa. Dalam rangka pengelolaan cadangan devisa tersebut, Bank
Indonesia melaksanakan berbagai jenis transaksi devisa serta dapat menerima
pinjaman luar negeri. Yang dimaksud dengan cadangan devisa adalah cadangan
devisa negara yang dikuasai oleh Bank Indonesia yang tercatat pada sisi aktiva
Bank Indonesia yang antara lain berupa emas, uang kertas asing, dan tagihan
lainnya dalam valutas asing kepada pihak luar negeri yang dapat dipergunakan
sebagai alat pembayaran luar negeri. Pengelolaan cadangan devisa oleh Bank
Indonesia dilakukan melalui berbagai jenis transaksi devisa yaitu menjual,
membeli, dan/atau menempatkan devisa, emas dan surat‐surat berharga secara tunai atau berjangka
termasuk pemberian pinjaman. Dalam melakukan pengelolaan cadangan devisa, Bank
Indonesia selalu mempertimbangkan 3 (tiga) azas utama dengan skala prioritas,
yaitu likuiditas (liquidity), keamanan (security) tanpa mengabaikan prinsip
untuk memperoleh pendapatan yang optimal (profitability). Pinjaman luar negeri
yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah pinjaman luar negeri atas nama dan
menjadi tanggung jawab Bank Indonesia yang semata‐mata digunakan
dalam rangka pengelolaan cadangan devisa untuk memperkuat posisi neraca pembayaran.
Pinjaman dimaksud dapat dipantau oleh DPR melalui hasil pemeriksaan keuangan
oleh BPK.
5.
Penyelenggaraan Survei
Untuk melaksanakan kebijakan moneter
secara efektif dan efisien, diperlukan data/informasi ekonomi dan keuangan
secara tepat waktu dan akurat. Untuk memperoleh data/informasi tersebut, Bank
Indonesia dapat menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu‐waktu yang dapat bersifat makro atau
mikro. Pelaksanaan survei tersebut dapat dilaksanakan oleh pihak lain
berdasarkan penugasan Bank Indonesia. Dalam penyelenggaraan survei, setiap
badan wajib memberikan keterangan dan data yang diperlukan oleh Bank Indonesia
atau pihak lain yang ditugaskan. Bank Indonesia atau pihak lain yang ditugaskan
untuk melakukan survei tersebut wajib merahasiakan sumber dan data individual
kecuali yang secara tegas dinyatakan lain dalam undangundang ( Pasal. 14)
6.
Tugas Mengatur dan Menjaga Kelancaran
Sistem Pembayaran
Kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal
23 UU-BI. Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran, Bank
Indonesia berwenang untuk melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas
penyelenggaraan jasa system pembayaran, mewajibkan penyelenggara jasa sistem
pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya serta menetapkan penggunaan
alat pembayaran. Persetujuan terhadap penyelenggaraan jasa sistem pembayaran dimaksudkan
agar penyelenggaraan jasa sistem pembayaran oleh pihak lain memenuhi
persyaratan, khususnya persyaratan keamanan dan efisiensi. Kewajiban
penyampaian laporan berlaku bagi setiap penyelenggara jasa sistem pembayaran.
Hal ini dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat memantau penyelenggaraan sistem
pembayaran. Penetapan alat pembayaran dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan
dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan bagi pengguna. Termasuk dalam
wewenang ini adalah membatasi penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka
prinsip kehatihatian. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan tersebut di atas,
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara jasa sistem
pembayaran.
7.
Pengaturan dan Penyelenggaraan Kliring
serta Penyelesaian Akhir Transaksi
Bank Indonesia berwenang mengatur sistem
kliring antarbank dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang meliputi
sistem kliring domestik dan lintas negara (Psl. 16). Penyelenggaraan kegiatan
kliring antarbank baik dalam rupiah maupun valuta asing serta penyelesaian
akhir transaksi pembayaran antarbank dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak
lain yang mendapat persetujuan dari Bank Indonesia (Psl. 17 jo Psl. 18).
8.
Mengeluarkan dan Mengedarkan Uang
Sesuai dengan amanat UUD 1945, Bank
Indonesia merupakan satusatunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan
mengatur peredaran uang rupiah (Psl. 20). Termasuk dalam kewenangan ini adalah mencabut,
menarik serta memusnahkan uang serta menetapkan macam, harga, ciri uang yang
akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan penentuan tanggal mulai berlakunya
sebagai alat pembayaran yang sah (Psl. 19). Sebagai konsekuensi dari ketentuan
tersebut, maka Bank Indonesia harus menjamin ketersediaan uang di masyarakat
dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas yang memadai. Uang yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia dibebaskan dari bea meterai (Psl. 21). Bank Indonesia dapat
mencabut dan menarik uang rupiah dari peredaran dengan memberikan penggantian
dengan nilai yang sama (Psl.23). Konsekuensi dari ketentuan ini maka Bank
Indonesia harus memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk :
·
melakukan
penukaran uang dalam pecahan yang sama dan pecahan lainnya;
·
melakukan
penukaran uang yang cacat atau dianggap tidak layak untuk diedarkan;
·
menukarkan
uang yang rusak sebagian karena terbakar atau sebab lain dengan nilai yang sama
atau lebih kecil dari nilai nominalnya yang bergantung pada tingkat
kerusakannya.
9.
TUGAS MENGATUR DAN MENGAWASI BANK
Pengaturan dan Pengawasan Bank merupakan
salah satu tugas Bank Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 UU‐BI. Dalam rangka melaksanakan tugas ini,
Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan bank,
serta mengenakan sanksi terhadap bank (Psl. 24). Selain itu, Bank Indonesia
berwenang menetapkan ketentuan‐ketentuan
perbankan yang memuat prinsip kehati‐hatian (Psl.
25). Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, Bank Indonesia :
·
memberikan
dan mencabut izin usaha bank;
·
memberikan
izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank;
·
memberikan
persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank;
·
memberikan
izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan‐kegiatan usaha
tertentu (Psl. 26).
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung (Psl. 27). Bank
Indonesia berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan
penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dimana
hal ini dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak
terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan (Psl. 28).
Pemeriksaan terhadap bank dilakukan
secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan dan dapat dilakukan
terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi
dari bank apabila diperlukan. Bank dan pihak lain tersebut wajib memberikan kepada
pemeriksa:
·
keterangan
dan data yang diminta;
·
kesempatan
untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan
kegiatan usahanya;
·
hal‐hal lain yang diperlukan seperti salinan
dokumen yang diperlukan dan lain‐lain (Psl. 29).
Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain
untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaaan terhadap bank
(Psl. 30) Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian
atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank
Indonesia transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan
(Psl. 31). Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia
membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan
sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan
perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana
diatur dalam undang‐undang tentang Perbankan yang berlaku
(Psl. 33).
10.
Pengalihan Tugas Pengawasan Bank
Dalam UU‐BI ditetapkan
bahwa tugas mengawasi bank akan dialihkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan independen yang dibentuk berdasarkan undang‐undang selambat‐lambatnya 31 Desember 2002 (Psl. 34).
Tugas yang dialihkan kepada lembaga ini tidak termasuk tugas pengaturan bank
serta tugas yang berkaitan dengan perizinan. Lembaga pengawasan independen ini
akan melakukan pengawasan terhadap semua lembaga jasa keuangan seperti bank,
asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan serta
badan‐badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat.
INDEPENDENSI
BANK INDONESIA
1.
Yuridis
UU‐BI merupakan landasan yuridis bagi
independensi Bank Indonesia dimana dalam UU‐BI dimuat
berbagai elemen dari independensi Bank Indonesia. Elemen‐elemen independensi tersebut meliputi
antara lain status dan kedudukan, tujuan dan tugas serta manajemen dan
personalia Bank Indonesia.
2.
Personalia
Independensi
personalia dalam UU‐BI ditunjukan dalam hal pengangkatan
anggota Dewan Gubernur oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Persyaratan
persetujuan DPR ini penting untuk menjaga independensi Bank Indonesia dari
intervensi Pemerintah melalui pengangkatan anggota Dewan Gubernur. Pengangkatan
oleh Presiden di sini adalah dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara dan bukan
Kepala Pemerintah. Disamping itu, anggota Dewan Gubernur tidak dapat
diberhentikan oleh Presiden selama masa jabatannya kecuali mengundurkan diri,
berhalangan tetap atau melakukan tindak pidana kejahatan.
3.
Institusi
Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independen yang dalam melaksanakan fungsi
dan tugasnya bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak‐pihak lainnya. Secara struktural, Bank Indonesia
berada di luar pemerintah sehingga dapat mengeliminir adanya intervensi
terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia baik yang berasal dari pemerintah
maupun pihak lain. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia dapat
melakukan kerja sama dengan bank sentral lainnya, organisasi internasional, dan
lembaga internasional serta dapat menjadi anggota pada lembaga multilateral, baik
atas nama Bank Indonesia maupun mewakili Pemerintah.
4.
Tujuan
Dalam
UU‐BI tujuan Bank Indonesia difokuskan pada
menjaga kestabilan nilai rupiah yang tercermin pada laju inflasi yang rendah dan
kestabilan nilai tukar. Dalam mencapai tujuan ini, Bank Indonesia sepenuhnya
berwenang untuk menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan perkembangan
ekonomi baik dalam negeri maupun luar negeri serta instrumen yang akan
digunakan.
5.
Tugas
Independensi
dalam pelaksanaan tugas tercermin dari larangan bagi pihak lain untuk melakukan
segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Bank
Indonesia juga wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari
pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
6.
Manajemen
Bank
Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur yang sepenuhnya berwenang dalam
menjalankan organisasi Bank Indonesia dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan oleh UU‐BI.
7.
Anggaran
Independensi
dalam bidang anggaran terlihat dalam ketentuan Pasal 60 yang menyatakan bahwa
anggaran Bank Indonesia ditetapkan oleh Dewan Gubernur. Anggaran harus
disampaikan kepada DPR yang dimaksudkan untuk dapat memantau pengelolaan
kewenangan Bank Indonesia dalam Ikhtisar Undang‐undang No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia anggaran serta kepada Pemerintah sebagai
bahan informasi berkaitan dengan surplus atau defisit anggaran Bank Indonesia.
8.
Transparansi
Sebagai
konsekuensi dari independensi yang dimilikinya, maka dalam pelaksanaan tugasnya
Bank Indonesia dituntut untuk lebih transparan dan bertanggung jawab.
Transparansi dan akuntabilitas ini diwujudkan dalam pertanggungjawaban kepada
publik dimana Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara
terbuka. Bank Indonesia juga wajib mengumumkan laporan keuangan tahunan kepada
publik melalui media massa.
AKUNTABILITAS
Dalam UU‐BI dianut pertanggungjawaban publik,
dimana pada setiap awal tahun anggaran Bank Indonesia wajib menyampaikan
informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui media masa mengenai evaluasi
pelaksanaan kebijakan moneter tahun sebelumnya dan rencana kebijakan moneter
tahun yang akan datang. Informasi tersebut juga disampaikan kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat. Disamping itu, setiap 3 (tiga) bulan Bank Indonesia
wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila diperlukan, Dewan Perwakilan Rakyat
dapat meminta Bank Indonesia untuk memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenangnya (Psl. 58).
Anggaran tahunan
Bank Indonesia harus disampaikan kepada DPR (Psl. 60). Bank Indonesia wajib
menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Laporan
keuangan tahunan Bank Indonesia diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, yang
hasilnya disampaikan kepada DPR. Bank Indonesia juga diwajibkan untuk
mengumumkan laporan keuangan tahunan kepada publik melalui media massa (Psl.
61).
HUBUNGAN DENGAN
PEMERINTAH
Tidak berbeda
dengan UU Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, berdasarkan UU‐BI Bank Indonesia juga bertindak sebagai
pemegang kas pemerintah (Psl. 52). Disamping itu, atas permintaan Pemerintah,
Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri,
menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan Pemerintah
terhadap pihak luar negeri (Psl. 53). Pemerintah wajib meminta pendapat
dan/atau mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas mengenai
masalah ekonomi,
perbankan dan
keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia. Bank Indonesia juga dapat
memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta kebijakan lain yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia (Psl. 54).
Pemerintah juga
wajib berkonsultasi dengan Bank Indonesia apabila akan menerbitkan surat utang
negara. Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat utang negara, terutama
informasi mengenai pasar dan waktu penerbitan surat utang tersebut. Bank
Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat utang negara tersebut di
pasar primer dan hanya dapat membeli di pasar sekunder yang semata‐mata hanya untuk tujuan pelaksanaan
kebijakan moneter (Psl. 55).
Salah satu
perubahan yang penting dalam UU‐BI adalah
larangan pemberian kredit kepada Pemerintah. Selama ini pemberian kredit kepada
Pemerintah ditujukan untuk memperkuat kas negara dalam mengatasi defisit
spending. Dalam UU‐BI secara tegas dinyatakan bahwa Bank
Indonesia
dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah karena dianggap dapat mengganggu
keutuhan konsep independensi Bank Indonesia (Psl. 56).
Walaupun Bank
Indonesia merupakan lembaga yang independen, namun koordinasi dengan Pemerintah
yang bersifat konsultatif tetap diperlukan. Pemerintah yang diwakili seorang
Menteri atau lebih dapat menghadiri Rapat Dewan Gubernur dengan hak bicara
tanpa hak suara (Psl. 43 ayat (1) Hubungan dengan Pemerintah juga nampak dalam
pembagian surplus dari hasil kegiatan Bank Indonesia. Sisa surplus Bank
Indonesia setelah dikurangi 30% untuk cadangan tujuan dan 10% untuk cadangan
umum diserahkan kepada Pemerintah dengan ketentuan terlebih dahulu harus digunakan
untuk membayar kewajiban Pemerintah kepada Bank Indonesia (Psl. 62).
KETENTUAN HUKUM
1.
Produk Hukum
Salah satu yang menonjol dalam UU‐BI adalah ketentuan pelaksanaannya
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur dan mengikat publik serta
Peraturan Dewan Gubernur yang mengatur dan mengikat ke dalam Bank Indonesia.
Penetapan Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Dewan Gubernur merupakan
bentuk independensi dalam pembuatan peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas Bank Indonesia. Dengan demikian maka dapat dieliminir intervensi dari
Pemerintah atau pihak lain melalui peraturan perundang‐undangan.
2.
Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif
Ketentuan Pidana dan sanksi
administratif diatur dalam mulai Pasal 65 sampai dengan Pasal 72. Tindakan atau
perbuatan yang diancam dengan pidana dalam UU‐BI meliputi
pelanggaran terhadap kewajiban penggunaan uang rupiah di wilayah RI,
pelanggaran terhadap kewajiban untuk tidak menolak penggunaan uang rupiah, pelanggaran
atas larangan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia,
pelanggaran kewajiban untuk menolak campur tangan, pelanggaran atas kewajiban
memberikan keterangan dan data yang diperlukan, pelanggaran atas larangan
membeli surat berharga di pasar primer, serta pelanggaran atas rahasia jabatan.
Pelanggaran terhadap ketentuan kewajiban penggunaan Rupiah sebagai alat
pembayaran di wilayah RI diancam dengan pidana kurungan sekurang‐kurangnya 1 bulan dan paling lama 3
bulan serta denda sekurang‐kurangnya Rp. 2
juta dan paling banyak Rp. 6 juta (Psl. 65). Setiap orang atau badan yang
menolak rupiah sebagai alat pembayaran di wilayah RI diancam pidana penjara
sekurangkurangnya 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta denda sekurangkurangnya
Rp. 1 miliar dan paling banyak Rp. 3 miliar (Psl. 66).
Pelanggaran terhadap larangan untuk
melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia diancam
pidana penjara sekurang‐kurangnya 2 tahun dan paling lama 5
tahun serta denda sekurang‐kurangnya Rp. 2
miliar dan paling banyak Rp. 5 miliar (Psl. 67). Anggota Dewan Gubernur
dan/atau pejabat Bank Indonesia yang tidak menolak adanya campur tangan pihak
lain diancam dengan pidana penjara 2 tahun dan paling lama 5 tahun serta denda sekurang‐kurangnya Rp.2 miliar dan paling banyak
Rp. 5 miliar (Psl. 68).
Badan yang tidak memenuhi kewajiban
untuk memberikan keterangan dan/atau data yang diperlukan dalam kegiatan survey
diancam pidana denda paling banyak Rp. 50 juta (Psl. 69). Pelanggaran terhadap
larangan pembelian surat utang negara di pasar primer diancam dengan pidana
penjara penjara 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta denda sekurang‐kurangnya Rp. 6 miliar dan paling banyak
Rp. 15 miliar (Psl. 70). Pelanggaran rahasia jabatan yang dilakukan oleh
anggota Dewan Gubernur, pegawai Bank Indonesia serta pihak lain yang melakukan pekerjaan
tertentu dari Bank Indonesia diancam pidana penjara 1 tahun dan paling lama 3
tahun serta denda sekurang‐kurangnya Rp. 1 miliar
dan paling banyak Rp. 3 miliar. Apabila pelanggaran tersebut dilakukan oleh
badan, diancam pidana denda sekurang‐kurangnya Rp. 3
miliar dan paling banyak Rp. 6 miliar (Psl. 71). Disamping ketentuan pidana,
Dewan Gubernur dapat menetapkan sanksi administratif kepada pegawai Bank
Indonesia serta pihak lain yang tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan UU‐BI. Bentuk sanksi administratif tersebut
dapat berupa denda, teguran tertulis, pencabutan atau pembatalan izin usaha
serta sanksi disiplin pegawai (Psl. 72).
LAIN‐LAIN
1.
Pengalihan Kredit Program
Sesuai dengan konsep yang dianut dalam
UU‐BI dimana suatu bank sentral yang
independen harus mempunyai tugas yang fokus yaitu memelihara kestabilan nilai
rupiah, maka tugas pengadaan kredit program yang selama ini dilakukan oleh Bank
Indonesia akan dialihkan kepada BUMN yang ditunjuk Pemerintah dalam jangka waktu
6 bulan sejak berlakunya UU‐BI. BUMN
tersebut mengelola hasil angsuran dan/atau pelunasan pokok dan bunga kredit
likuiditas sampai dengan berakhirnya jangka waktu kredit likuiditas tersebut. Subsidi
bunga kredit likuiditas yang selama ini menjadi beban Bank Indonesia menjadi
beban Pemerintah (Psl. 74).
2.
Pembatasan Penyertaan Modal
Sejalan dengan penetapan single
objective Bank Indonesia serta agar dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia
lebih menfokuskan pada tujuan yang harus dicapai, dalam UU‐BI ditetapkan mengenai pembatasan
penyertaan modal hanya pada badan hukum atau badan lainnya yang sangat
diperlukan dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia seperti lembaga kliring,
badan pemeringkat dan lembaga penjamin simpanan. Kegiatan penyertaan modal pada
badan hukum atau badan lainnya ini harus mendapat persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat. Dana yang digunakan untuk penyertaan ini hanya dapat diambil
dari cadangan tujuan (Psl. 64).
3.
Ketentuan Divestasi
Dalam jangka waktu paling lama 2 tahun
sejak UU‐BI berlaku, Bank Indonesia wajib
melepaskan seluruh penyertaannya pada badan hukum atau badan lainnya yang tidak
memenuhi persyaratan “sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia”
(Pasal. 77).
C. Bank
Indonesia sebagai Lender of the Resort
Peran Bank Indonesia sebagai Lender of the
Last Resort
Sebagai upaya untuk
meningkatkan efektivitas pengendalian moneter, Bank Indonesia juga mempunyai
fungsi lender of the last resort, (Pasal 11) yang memungkinkan Bank Indonesia membantu
kesulitan pendanaan jangka pendek yang dihadapi bank.
D. Kebijakan
nilai tukar
Sejak
periode 1970 hingga sekarang, sistem nilai tukar yang berlaku di Indonesia
telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali, yaitu Sistem Nilai Tukar
Tetap, Sistem Nilai tukar Mengambang Terkendali, dan terakhir Sistem Nilai
tukar Mengambang Bebas.
1.
Sistem
Nilai Tukar Tetap
Sistem
nilai tukar tetap ( fixed exchange rate ) dimana lembaga otoritas
moneter menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang
negara lain pada tingkat tertentu, tanpa memperhatikan penawaran ataupun
permintaan terhadap valuta asing yang terjadi.
Bila terjadi kekurangan atau kelebihan penawaran atau permintaan lebih tinggi
dari yang ditetapkan pemerintah, maka dalam hal ini akan mengambil tindakan
untuk membawa tingkat nilai tukar ke arah yang telah ditetapkan. Tindakan
yang diambil oleh otoritas moneter bisa berupa pembelian ataupun penjualan
valuta asing, bila tindakan ini tidak mampu mengatasinya, maka akan dilakukan
penjatahan valuta asing (Hendra Halwani, 2005).
Sistem
nilai tukar tetap yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
tahun 1964 dengan nilai tukar resmi Rp 250/US Dollar, sementara nilai tukar
Rupiah terhadap mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar Rupiah per
US Dollar di bursa valuta asing Jakarta dan di pasar internasional.
Selama periode tersebut di atas, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada Bank Indonesia. Dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal pemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing. Sebagai konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut, maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi semua kebutuhan valuta asing bank komersial dalam rangka memenuhi permintaan valuta asing oleh importir maupun masyarakat. Berdasarkan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki kewenangan penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing.
Pemerintah Indonesia telah melakukan devaluasi sebanyak tiga kali yaitu yang pertama kali dilakukan pada tanggal 17 April 1970 dimana nilai tukar Rupiah ditetapkan kembali menjadi Rp 378/US Dollar. Devaluasi yang kedua dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1971 menjadi Rp 415/US Dollar dan yang ketiga pada tanggal 15 November 1978 dengan nilai tukar sebesar Rp 625/US Dollar. Kebijakan devaluasi tersebut dilakukan karena nilai tukar Rupiah mengalami overvaluated sehingga dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional.
Selama periode tersebut di atas, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada Bank Indonesia. Dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal pemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing. Sebagai konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut, maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi semua kebutuhan valuta asing bank komersial dalam rangka memenuhi permintaan valuta asing oleh importir maupun masyarakat. Berdasarkan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki kewenangan penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing.
Pemerintah Indonesia telah melakukan devaluasi sebanyak tiga kali yaitu yang pertama kali dilakukan pada tanggal 17 April 1970 dimana nilai tukar Rupiah ditetapkan kembali menjadi Rp 378/US Dollar. Devaluasi yang kedua dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1971 menjadi Rp 415/US Dollar dan yang ketiga pada tanggal 15 November 1978 dengan nilai tukar sebesar Rp 625/US Dollar. Kebijakan devaluasi tersebut dilakukan karena nilai tukar Rupiah mengalami overvaluated sehingga dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional.
2.
Sistem
Nilai Tukar Mengambang Terkendali
Nilai
tukar mengambang terkendali, dimana pemerintah mempengaruhi tingkat nilai tukar
melalui permintaan dan penawaran valuta asing, biasanya sistem ini diterapkan
untuk menjaga stabilitas moneter dan neraca pembayaran.
Sistem
nilai tukar mengambang terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan dengan
kebijakan devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33 %. Pada sistem ini nilai tukar Rupiah diambangkan terhadap
sekeranjang mata uang (basket currencies) negara-negara mitra dagang utama
Indonesia. Dengan sistem tersebut, Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi
dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga
kestabilan nilai tukar Rupiah, maka Bank Indonesia melakukan intervensi bila
kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah spread (Teguh Triyono,
2005).
Pada
saat sistem nilai tukar mengambang terkendali diterapkan di Indonesia, nilai
tukar Rupiah dari tahun ke tahunnya terus mengalami depresiasi terhadap US
Dollar. Nilai tukar Rupiah berubah-ubah
antara Rp 644/US Dollar sampai Rp 2.383/US Dollar. Dengan perkataan lain, nilai
tukar Rupiah terhadap US Dollar cenderung tidak pasti.
3.
Sistem
Nilai Tukar Mengambang Bebas
Nilai
tukar mengambang bebas, dimana pemerintah tidak mencampuri tingkat nilai tukar
sama sekali sehingga nilai tukar diserahkan pada permintaan dan penawaran
valuta asing. Penerapan sistem ini dimaksudkan
untuk mencapai penyesuaian yang lebih berkesinambungan pada posisi keseimbangan
eksternal (external equilibrium position. Tetapi kemudian timbul indikasi bahwa
beberapa persoalan akibat dari kurs yang fluktuatif akan timbul, terutama
karena karakteristik ekonomi dan struktur kelembagaan pada negara berkembang
masih sederhana. Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas ini diperlukan
sistem perekonomian yang sudah mapan (Eric Yuliana, 2000).
Indonesia
mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas pada periode 1997 hingga
sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997,
Rupiah mengalami tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah
terhadap US Dollar. Tekanan tersebut diakibatkan oleh adanya currency turmoil
yang melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.
Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi baik
melalui spot exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate (kurs
berjangka) dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun
untuk selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah semakin meningkat.
Oleh
karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang, pada
tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia memutuskan untuk menghapus rentang
intervensi sehingga nilai tukar Rupiah dibiarkan mengikuti mekanisme pasar.
Kebijakan nilai tukar
Pasal
12 UU-BI menetapkan bahwa Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar
berdasarkan nilai tukar yang ditetapkan. Penetapan nilai tukar dilakukan oleh
Pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden berdasarkan usul Bank Indonesia.
Kewenangan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan nilai tukar ini antara
lain dapat berupa :
·
dalam sistem nilai tukar tetap berupa devaluasi atau
revaluasi terhadap mata uang asing;
·
dalam sistem nilai tukar mengambang berupa
intervensi pasar;
·
dalam nilai tukar mengambang terkendali berupa
penetapan nilai tukar harian serta lebar pita intervensi.
Kewenangan dalam
Mengelola Cadangan Devisa
Dalam Pasal 13
UU-BI dirumuskan bahwa Bank Indonesia mengelola cadangan devisa dengan
melaksanakan berbagai jenis transaksi devisa serta dapat menerima pinjaman luar
negeri. Yang dimaksud dengan cadangan devisa adalah cadangan devisa Negara yang
dikuasai oleh Bank Indonesia yang tercatat pada sisi aktiva Bank Indonesia yang
antara lain berupa emas, uang kertas asing, dan tagihan lainnya
dalam valutas asing kepada pihak luar negeri yang dapat dipergunakan
sebagai alat pembayaran luar negeri. Pengelolaan cadangan devisa oleh Bank
Indonesia dilakukan melalui berbagai jenis transaksi devisa yaitu menjual,
membeli, dan/atau menempatkan devisa, emas dan surat-surat berharga secara
tunai atau berjangka termasuk pemberian pinjaman. Dalam melakukan pengelolaan
cadangan devisa, Bank Indonesia selalu mempertimbangkan 3 (tiga) azas utama
dengan skala prioritas, yaitu likuiditas (liquidity), keamanan
(security) tanpa mengabaikan prinsip untuk memperoleh pendapatan yang
optimal (profitability).
Penyelenggaraan
Survei
Untuk melaksanakan kebijakan moneter secara
efektif dan efisien, diperlukan data/informasi ekonomi dan keuangan secara
tepat waktu dan akurat. Untuk memperoleh data/informasi tersebut, Bank
Indonesia dapat menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu-waktu yang
dapat bersifat makro atau mikro. Pelaksanaan survey tersebut dapat dilaksanakan
oleh pihak lain berdasarkan penugasan Bank Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.